BOJONEGORO – Batara.news
Peringatan Hari Kebudayaan Nasional 17 Oktober 2025 menjadi momen penting untuk menumbuhkan kembali kesadaran akan akar budaya bangsa. Hal itu disampaikan oleh Suyanto, budayawan sekaligus pelaku seni asal Bojonegoro, Jumat (17/10/2025).
Menurutnya, kebudayaan bukan sekadar acara tahunan, melainkan napas kehidupan masyarakat yang harus dijaga dari generasi ke generasi.
“Hari Kebudayaan ini seharusnya menjadi ajang untuk membangun kesadaran, bukan hanya panggung seremonial. Budaya itu hidup kalau dijalankan bersama, bukan di atas kertas,” ujarnya.
Suyanto menilai, kebangkitan budaya harus dimulai dari desa, karena desa dibentuk berdasarkan adat istiadat dan tradisi leluhur.
“Desa itu sebenarnya punya akar kuat dari budaya. Maka seharusnya di setiap desa ada pengurus adat. Itu bagian dari cara menjaga identitas lokal,” tambahnya.
Sebagai refleksi Hari Kebudayaan, Suyanto memperkenalkan lima tahapan kebudayaan lokal yang ia sebut “Lima D” — konsep sederhana tapi dalam, yang mencerminkan cara masyarakat menjaga nilai-nilai tradisi:
1. Dhedep – Mengamati dengan jeli.
Langkah awal adalah menyelami dan memperhatikan kehidupan budaya masyarakat dengan hati dan kepedulian.
2. Dhuduk – Duduk bersama dan berdiskusi.
Semua pihak — seniman, masyarakat, dan pemerintah — perlu duduk bersama untuk memahami arah kebudayaan secara kolektif.
3. Dhudah – Menggali akar budaya.
Nilai, filosofi, dan tradisi lokal perlu digali kembali agar tidak terkubur oleh arus modernisasi.
4. Dheder – Menanamkan kembali nilai budaya.
Hasil penggalian budaya harus ditanamkan melalui pendidikan, kegiatan seni, dan pelibatan generasi muda.
5. Dhekem – Menjaga dan melestarikan bersama.
Budaya yang telah tumbuh perlu dirawat secara berkelanjutan dengan kepedulian dan sinergi lintas sektor.
“Lima langkah ini bukan teori akademik, tapi panduan hidup. Kalau tidak ada kepedulian, budaya akan mati pelan-pelan,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Suyanto menyoroti kinerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro, yang menurutnya masih lelet dan terlalu fokus pada kegiatan seremonial.
“Kegiatan kebudayaan kita sering hanya acara seremonial. Banyak anggaran keluar, tapi hasilnya tidak membanggakan. Identitas lokal malah tidak muncul,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah daerah tidak lagi bergantung pada konsultan dari luar daerah, karena itu dinilai memboroskan anggaran tanpa memahami akar budaya Bojonegoro. “Bojonegoro ini punya banyak pelaku budaya yang paham karakter daerahnya sendiri. Pemerintah harus percaya pada kemampuan lokal, bukan terus pakai konsultan luar yang cuma datang, buat konsep, lalu pergi,” katanya.
Menutup perbincangan, Suyanto menegaskan bahwa kemajuan suatu bangsa tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi, tetapi juga dari kekuatan budayanya.
“Kuncaraning bongso gumantung marang budoyo. Kejayaan bangsa ditentukan oleh budayanya. Kalau akar budaya hilang, bangsa pun kehilangan arah,” pungkasnya.
Penulis:Alisugiono.