BOJONEGORO, BATARA.NEWS – Di saat banyak daerah berjuang menutup defisit dan menjaga roda pembangunan tetap berputar, Bojonegoro justru menyimpan triliunan rupiah di rekening bank. Ironi fiskal ini sontak memantik kemarahan Menteri Keuangan Purbaya Yudhisadewa.
Tahun 2025, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Kabupaten Bojonegoro mencapai Rp2,73 triliun, naik signifikan dari tahun sebelumnya.
Namun anehnya, proyeksi pendapatan dan belanja tahun 2026 justru anjlok tajam, pendapatan turun dari Rp7,2 triliun menjadi Rp4,56 triliun, sementara belanja daerah ikut merosot dari Rp7,85 triliun menjadi Rp6,78 triliun, defisit pun meningkat hingga Rp2,2 triliun.
Padahal, sebagian defisit itu bisa ditutup dengan SILPA tahun sebelumnya, tetapi, fenomena ini justru menyingkap kontradiksi: kas berlimpah, tapi keberanian birokrasi justru mengempis.
Secara teori, SILPA besar sering disebut tanda efisiensi. Tapi dalam praktik, justru sering jadi bukti daya serap anggaran yang lemah dan ketakutan mengambil keputusan, proyek publik tersendat, sementara laporan keuangan daerah tampak terlalu rapi, seolah semua baik-baik saja di atas kertas.
“Ketika laporan keuangan terlalu sempurna, tapi pembangunan di lapangan mandek, yang dibutuhkan bukan audit angka, melainkan audit nurani,” ujar seorang pengamat fiskal.
Masalah ini mencuat dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025 yang digelar Kemendagri pada Senin (20/10/2025).
Dalam forum itu, Bojonegoro disebut memiliki saldo kas daerah sebesar Rp3,6 triliun yang masih “mengendap manis” di bank.
Mendagri Tito Karnavian pun menyoroti ketimpangan ini:
“Pendapatan Bojonegoro mencapai 86 persen, di atas rata-rata nasional 70 persen. Tapi realisasi belanja baru 40 persen, termasuk yang terendah di Indonesia. Ini menunjukkan mesin pendapatan dan mesin belanja tidak seimbang,” ujarnya.
Tito menegaskan, belanja daerah bukan sekadar urusan administrasi, tapi instrumen penggerak ekonomi lokal.
Namun puncak teguran datang dari Menkeu Purbaya Yudhisadewa, yang tak menutupi kekesalannya:
“Kalau Bojonegoro punya Rp3 triliun lebih di bank lalu tidak dibelanjakan, mau diapakan? Uang itu bukan untuk ditabung, tapi untuk memakmurkan rakyat!”
Purbaya menambahkan, uang publik harusnya berputar di tengah masyarakat, bukan tidur di rekening deposito.
“Ekonomi tumbuh karena uang berputar. Kalau uang hanya disimpan, tidak ada manfaatnya. Idealnya uang dibelanjakan sejak awal tahun agar roda ekonomi terus berputar,” tegasnya.
Kini, Bojonegoro menghadapi paradoks fiskal: uang berlimpah, tapi pembangunan berjalan lambat, di satu sisi, pemerintah daerah bangga dengan kas triliunan; di sisi lain, rakyat menunggu janji pembangunan yang tak kunjung hidup.
“SILPA besar tidak selalu tanda efisiensi, kadang justru tanda ketakutan mengambil keputusan,” ujar sang pengamat menutup percakapan.
Akhirnya, Bojonegoro harus belajar bahwa uang publik bukan untuk dipelihara di deposito, tapi untuk menghidupi rakyat, sebab ketika uang rakyat berhenti mengalir, yang membeku bukan hanya dana, tetapi juga nurani pemerintahan itu sendiri. (red)