Perebutan Panggung Bengawan Solo: Pemkab Bojonegoro Bertindak Bagai Pahlawan, BBWS Terpinggirkan

Perebutan Panggung Bengawan Solo: Pemkab Bojonegoro Bertindak Bagai Pahlawan, BBWS Terpinggirkan
Perebutan Panggung Bengawan Solo: Pemkab Bojonegoro Bertindak Bagai Pahlawan, BBWS Terpinggirkan

BOJONEGORO, BATARA.NEWS — Ketika tanggul Bengawan Solo kembali ambrol, publik berharap langkah cepat dan terukur datang dari lembaga yang berwenang.

Harapan itu semestinya tertuju pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo.

Namun, yang terlihat di lapangan justru berbeda, pemerintah Kabupaten Bojonegoro tampak sibuk menangani wilayah yang sejatinya bukan ranah kewenangannya.

Seolah tanpa merasa bersalah, bagai sang pahlawan penyelamat, pemkab turun tangan penuh di sepanjang bibir sungai, mengerjakan proyek penanganan tanggul yang sebenarnya menjadi tanggung jawab BBWS Bengawan Solo.

Di atas kertas, tindakan ini bisa disebut sebagai bentuk inisiatif daerah, namun di mata publik, langkah itu lebih menyerupai gejala “sindrom sok kaya.”

Dalam sistem pemerintahan, kewenangan bukan semata tentang siapa yang mampu, tetapi siapa yang berhak dan bertanggung jawab secara hukum.

Bengawan Solo adalah sungai lintas kabupaten bahkan lintas provinsi, berdasarkan aturan, pengelolaannya sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat melalui BBWS Bengawan Solo.

Namun yang terjadi di Bojonegoro justru menyerupai perebutan peran panggung, pemkab bertindak seolah BBWS tak hadir, mengambil alih seluruh urusan mulai dari penanganan darurat hingga pembangunan permanen.

Yang lebih ironis, semua dilakukan seolah tanpa rencana induk, tanpa izin teknis, tetapi dengan anggaran besar dari APBD.

Sekilas, langkah Pemkab ini tampak seperti bentuk tanggung jawab moral terhadap masyarakat, namun bila ditelusuri lebih dalam, langkah tersebut bisa berpotensi sebagai pengalihan kewenangan dengan dalih tanggap darurat.

Dalih tanggap darurat sering kali dijadikan pembenaran untuk menggelontorkan proyek bernilai miliaran rupiah tanpa melalui koordinasi dengan lembaga berwenang.

Pertanyaan publik pun sederhana, apakah ada surat izin dari BBWS?, apakah ada rekomendasi teknis dari pemerintah pusat?, ataukah semua hanya berdasar keyakinan “Kami punya uang, kami bisa”?

Tanpa dasar hukum dan koordinasi yang jelas, langkah seperti ini berisiko menjadi alibi teknis untuk mempercepat penyerapan anggaran menjelang akhir tahun anggaran.

Bojonegoro dikenal sebagai daerah kaya migas dengan saldo kas triliunan rupiah, namun kekayaan fiskal tampaknya menumbuhkan rasa superioritas kelembagaan, merasa bisa mengerjakan segala hal, bahkan yang bukan urusannya secara hukum.

Seorang pakar anggaran menilai fenomena ini sebagai sindrom daerah sok kaya.

“Daerah dengan uang besar sering kehilangan disiplin tata kelola, mereka merasa mampu menutup semua celah, padahal yang tertutup justru akal sehat pengelolaan anggaran,” ujarnya.

Ketika uang dijadikan pembenar segala keputusan, batas antara tanggung jawab dan ambisi menjadi kabur, pemkab terlihat seperti penyelamat, padahal tanpa koordinasi resmi, semua upaya itu bisa berubah menjadi panggung politis yang mahal.

Fenomena ini bukan hal baru, hampir setiap akhir tahun, ketika serapan anggaran rendah, tiba-tiba muncul proyek-proyek tanggap darurat di bantaran sungai, ada papan proyek, ada rekanan, ada perintah cepat, namun tak ada rencana teknis, tak ada izin BBWS, dan tak ada transparansi publik.

Inilah cara “sinergitas” disulap menjadi “pseudo-sinergi”, tampak rapi di pemberitaan, tapi rapuh dalam tata kelola pemerintahan.

Kasus ambruknya tanggul di Lebaksari, Kecamatan Baureno, menjadi contoh nyata, pemkab tampak aktif di awal penanganan, namun ketika tanggul kembali jebol, tanggung jawab menguap di antara lembaga, yang tersisa hanyalah APBD yang terkuras untuk proyek yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Tidak ada yang salah bila pemerintah daerah ingin membantu penanganan darurat, namun bantuan itu harus dilakukan melalui mekanisme resmi dan koordinasi jelas dengan BBWS Bengawan Solo, tanpa itu, setiap tindakan justru berpotensi melanggar hukum dan merusak tata kelola anggaran.

Solidaritas yang tidak berlandaskan aturan hanyalah ego kelembagaan yang dibungkus dengan jargon kepedulian.

Bojonegoro tidak sedang diuji soal kemampuan membangun, kabupaten ini sudah terbukti sebagai salah satu daerah dengan kekuatan fiskal terbesar di Jawa Timur, namun sejatinya justru ada pada kematangan mengelola kewenangan dan kejujuran menggunakan uang publik.

Karena pada akhirnya, pemerintahan yang kaya bukan diukur dari banyaknya proyek, melainkan dari disiplin, transparansi, dan integritas dalam setiap rupiah yang dibelanjakan. (red)