BOJONEGORO – Batara.News
Diskusi publik bertajuk “Projo di Persimpangan Jalan..!” yang digelar Dewan Jegrank Unboxing Podcast di Kafe Copitalist, Sukorejo, Senin malam (18/11/2025), menghadirkan panggung dialog politik yang jarang terjadi di daerah: jujur, terbuka, dan merawat etika demokrasi.
Di tengah tensi politik nasional yang meninggi—antara narasi Jokowi, Prabowo, dan arah relawan—Bojonegoro justru tampil sebagai ruang yang sejuk. Tidak ada kegaduhan, tidak ada saling serang. Yang hadir adalah kejujuran politik ala akar rumput, yang semakin menegaskan bahwa atmosfer demokrasi lokal di Bojonegoro berkembang matang berkat dukungan iklim pemerintahan daerah yang stabil dan kondusif.
Acara yang dimulai pukul 20.00 WIB tersebut menghadirkan tiga tokoh lintas unsur:
Mustakim, Ketua DPC Projo Bojonegoro
Suprapto, Sekretaris DPC Gerindra Bojonegoro
Ridwan Habibi, Ketua DPD PSI Bojonegoro
Diskusi berlangsung hangat, sesekali menggelitik, namun tetap penuh argumentasi berbobot.
Ketua DPC Projo Bojonegoro, Mustakim, membuka pemaparan dengan menegaskan garis historis relawan Projo: mengawal Jokowi dari desa hingga istana, dari vaksin gratis sampai sinergi dengan Mabes Polri.
Menurutnya, arah politik relawan justru semakin jelas setelah Musyawarah Rakyat (Musra) yang digelar di 300 kabupaten, 33 provinsi, dan 5 negara.
“Hasil Musra tegas: sosok paling layak melanjutkan Jokowi adalah Prabowo Subianto,” ujar Mustakim.
Ia juga meluruskan narasi simpang siur terkait Budi Arie.
Tak ada dokumen, perintah, ataupun bukti hukum yang menyeret namanya dalam isu nasional.
Mustakim memuji langkah pemerintah, baik era Jokowi maupun Prabowo—yang memberi mandat jelas kepada Budi Arie untuk menyelesaikan proyek bermasalah, memberantas judi online, hingga membentuk 81 ribu Koperasi Merah Putih hanya dalam dua bulan.
“Ini bukti kapasitas kerja. Relawan ingin bergerak modern, rapi, dan tetap dalam koridor negara,” katanya.
Sekretaris DPC Gerindra Bojonegoro, Suprapto, memaparkan bahwa sejak 2008, Gerindra hanya memegang satu prinsip: loyal pada keputusan ketua umum.
Tiga kali kalah Pilpres, satu kali bersatu dengan Jokowi, dan kini memimpin pemerintahan—baginya, Prabowo telah melewati “luka panjang politik” yang menjadi fondasi kematangan hari ini.
Ia menyinggung isu panas di pusat antara kubu Budi Arie dan Gerindra:
“Hubungan personal tidak boleh mengacaukan garis komando. Kami fokus kerja hingga 2029.”
Suprapto juga menegaskan bahwa pengalaman masa lalu membuat Gerindra lebih selektif dalam merespons dinamika relawan.
“Kami menjaga marwah organisasi. Semua harus inline dengan amanat Hambalang.”
Ketua DPD PSI Bojonegoro, Ridwan Habibi, tampil sebagai penyeimbang narasi.
Ia menegaskan tiga hal yang selama ini sering disalahpahami publik:
1. PSI dan Projo tidak terikat secara struktural.
2. Tidak ada kader Projo di dalam DPP PSI.
3. PSI tidak mengklaim Jokowi.
“Projo punya ruang geraknya sendiri. Itu sehat untuk demokrasi,” tegasnya.
Menurutnya, perubahan narasi Budi Arie—dari “Pro Jokowi” menjadi “Pro Rakyat”—memang memicu tafsir politik baru, namun PSI memilih tenang dan fokus pada konsolidasi
Yang menarik dari diskusi ini bukan hanya isi, melainkan cara Bojonegoro mengelola perbedaan.
Relawan, partai, dan masyarakat duduk satu meja, saling menguji argumen tanpa perlu meninggikan suara.
Model dialog semacam ini tak lepas dari stabilitas lokal dan ruang diskusi yang difasilitasi pemerintah daerah yang selama ini menjaga iklim demokrasi tetap rukun, aman, dan kondusif.
Bojonegoro kembali membuktikan diri sebagai laboratorium demokrasi yang matang di Jawa Timur.
Dari seluruh dialog, simpulannya jelas:
Projo berada di persimpangan pasca-Jokowi namun mengarah pada keberlanjutan ke Prabowo.
Gerindra mengokohkan barisan, fokus pada komando Prabowo hingga 2029.
PSI menegaskan identitas sebagai partai muda yang tidak bergantung pada relawan.
Sementara itu publik menunggu:
apakah kapal besar relawan dan partai akan berlabuh di dermaga yang sama, atau justru menyebar mengikuti arus politik masing-masing?
Yang pasti, diskusi malam itu memperlihatkan satu hal:
Bojonegoro menjadi contoh bagaimana perbedaan pandangan dapat dirayakan dengan kepala dingin.
Sebuah apresiasi layak diberikan kepada seluruh pemangku kepentingan—termasuk pemerintahan daerah—yang menjaga ruang dialog tetap hidup dan bermartabat.
Penulis: Alisugiono












