BOJONEGORO, BATARA.NEWS – Sore itu, jalur utama Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, tampak sesak, deretan truk tangki raksasa berwarna merah dan putih berjajar sepanjang ratusan meter di depan SPBU 54.621.16.
Logo PT. ARTHA SURYA JAYA jelas terbaca di badan tangki-tangki maupun kabin mobil itu, perusahaan ekspedisi energi yang dikenal mengangkut bahan bakar dan cairan kimia industri.
Pemandangan ini memantik pertanyaan besar, mengapa armada perusahaan besar antre di SPBU umum, yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat pengguna BBM bersubsidi?
Berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM, kendaraan angkutan industri, ekspedisi besar, dan alat berat tidak berhak menggunakan Solar subsidi (Biosolar).
Mereka diwajibkan membeli Solar industri (Dexlite, Pertamina Dex, atau jenis sejenis) melalui mekanisme non-subsidi.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, truk tangki yang seharusnya mengisi di depo BBM industri justru mengantre di SPBU umum bersama kendaraan rakyat.
Indikasi ini memperkuat dugaan bahwa distribusi BBM bersubsidi telah “disusupi” oleh kepentingan korporasi.
“Kalau truk-truk besar kayak gitu antre di SPBU biasa, jelas bukan sekadar kebetulan, ada permainan kuota,” ujar seorang warga Leran yang akrab dengan aktivitas SPBU setempat.
Dugaan modusnya klasik. SPBU yang memiliki kuota solar subsidi “menyisihkan” sebagian stoknya untuk kendaraan industri dengan alasan “langganan perusahaan”, transaksi bisa dilakukan secara langsung di lokasi atau melalui sistem “pesanan terselubung” dengan pengiriman lewat tangki perusahaan.
Praktik ini jelas menabrak aturan, selain merugikan keuangan negara, hal itu juga menyebabkan kelangkaan solar di kalangan nelayan, petani, dan sopir angkutan kecil.
Yang lebih ironis, pihak Dinas Perdagangan dan Energi serta Pertamina Patra Niaga Wilayah Jawa Timur seolah menutup mata, tak ada inspeksi mendadak, tak ada sanksi tegas, meski antrean mencolok semacam ini sudah sering terjadi di beberapa SPBU tersebut.
Sementara perwakilan dari PT. ARTHA SURYA JAYA serta pihak SPBU belum memberikan tanggapan resmi, namun di kalangan sopir tangki beredar kabar bahwa pengisian di SPBU tersebut merupakan “rute rutin” karena harga solar subsidi jauh lebih murah dibanding solar industri.
Selisih harga keduanya bisa mencapai Rp 4.000–5.000 per liter.
Dengan kapasitas tangki 200 liter per kendaraan, potensi keuntungan per armada bisa mencapai Rp 1 juta sekali isi, bayangkan jika itu dilakukan puluhan kali dalam sebulan, kerugian negara bisa menembus ratusan juta rupiah hanya dari satu titik distribusi.
Fenomena ini menyingkap dua persoalan besar: lemahnya pengawasan dan rapuhnya integritas penyalur BBM.
Pertamina seharusnya mampu melacak transaksi mencurigakan melalui sistem digital, sementara aparat kepolisian dan BPH Migas wajib menindak SPBU dan perusahaan yang menyalahgunakan izin distribusi.
Publik kini menanti langkah konkret — bukan sekadar klarifikasi normatif.
Sebab di balik antrian truk-truk tangki di SPBU Leran, tersimpan cermin buram tentang bagaimana subsidi energi yang seharusnya dinikmati rakyat kecil justru disedot oleh roda industri besar.












