Bojonegoro – Batara.News ||
Setiap akhir tahun, Kabupaten Bojonegoro kembali memasuki pola yang sama. Sejumlah proyek fisik dikebut penyelesaiannya, administrasi dipaksa selesai cepat, dan pelaksana lapangan bekerja dalam tekanan tenggat waktu. Ironinya, pembangunan yang seharusnya mengedepankan perencanaan matang justru diukur dengan takaran waktu, bukan takaran kualitas.Kamis(6/11/2025)
Sejumlah paket pekerjaan yang sebelumnya tertunda akibat proses lelang molor bahkan gagal tender, baru mulai berjalan menjelang tutup anggaran. Kondisi ini membuat kontraktor maupun desa penerima program pembangunan bekerja dalam kondisi serba terburu-buru. Di banyak titik, pekerjaan akhirnya hanya fokus pada “selesai”, bukan “sesuai standar”Specifikasi.
Ketika Infrastruktur Dikejar Jam, Bukan Dikejar Standar.
Idealnya, pembangunan publik wajib mengutamakan spesifikasi material, keselamatan konstruksi, dan pengawasan teknis. Namun begitu memasuki kuartal akhir, takaran itu sering berubah.
Sejumlah risiko yang muncul di lapangan.
Beton dipasang tanpa waktu curing yang memadai
Kualitas material sulit dikontrol
Pengawasan teknis melemah
Realisasi diprioritaskan daripada mutu
Jika siklus ini dibiarkan berulang setiap tahun, dampaknya tidak hanya menurunkan kualitas infrastruktur, tetapi juga merugikan publik dalam jangka panjang.
BKKD Rp 806 Miliar Dana Besar, Waktu Sempit.
Program Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) tahun ini menembus Rp 806 miliar untuk 336 desa penerima. Secara konsep, BKKD mendorong percepatan pembangunan desa. Namun di lapangan, banyak desa baru memulai pekerjaan pada akhir tahun anggaran, setelah proses administratif dinyatakan tuntas.
Dengan waktu pelaksanaan yang sempit, desa hanya dihadapkan pada dua pilihan.
1. Mengebut pekerjaan dengan risiko kualitas menurun.
2. Tidak selesai tepat waktu dan terancam dianggap gagal serap anggaran.
Keduanya sama-sama simalakama,tidak menguntungkan bagi publik.
Sorotan Pemerintah Pusat.
Kementerian Keuangan dan Kemendagri sebelumnya juga menyoroti fenomena serupa di Bojonegoro. Kas daerah yang mengendap besar—diperkirakan Rp 3 sampai 3,6 triliun—serta rendahnya penyerapan APBD menjadi indikator bahwa tata kelola masih belum berjalan maksimal.
Dana yang besar tanpa realisasi tepat waktu hanya akan menghasilkan proyek yang ditakar di ujung tahun, bukan ditata sejak awal.
Evaluasi Hulu ke Hilir Perlu Tertib Sejak Perencanaan.
Akar persoalan sebenarnya bukan semata pada tukang atau kontraktor, melainkan pada fase perencanaan dan penganggaran. Di hulu masih muncul persoalan:
– Dokumen perencanaan terlambat.
– Proses lelang dan pengadaan molor.
– Koordinasi antar-OPD belum solid.
– Manajemen waktu anggaran tidak disiplin.
Ketika hulu tersendat, hilir tidak punya pilihan selain bekerja dengan pola “kejar tayang”, ujar Mas Al, salah satu pemerhati kebijakan pembangunan daerah.
Pengawasan Publik Menjadi Kunci.
Dalam situasi seperti ini, kontrol publik menjadi penting. Sorotan media, lembaga kontrol sosial, akademisi, hingga komunitas warga, berperan menjaga agar kualitas pembangunan tidak dikorbankan hanya demi mengejar laporan akhir tahun.
Tanpa pengawasan publik, pembangunan berpotensi berubah menjadi rutinitas administratif, bukan pelayanan masyarakat.
Membangun Kepercayaan, Bukan Sekadar Menyelesaikan Proyek.
Dengan anggaran besar dan kapasitas fiskal kuat, Bojonegoro seharusnya mampu tampil sebagai daerah dengan tata kelola pembangunan yang tertib dan transparan. Namun selama proyek masih ditakar dengan tenggat waktu—bukan dengan akuntabilitas—maka manfaat pembangunan akan sulit dirasakan maksimal oleh masyarakat.
Pada akhirnya, masyarakat tidak menagih spanduk peresmian. Mereka menagih kualitas, manfaat, dan keberlanjutan. Pembangunan yang dikerjakan dengan standar benar akan meninggalkan dua warisan utama:
Infrastruktur yang kokoh.
Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Keduanya tidak bisa diukur dengan kalender akhir tahun, tetapi dengan integritas pengelolaan anggaran.
Simak, amati, dan kawal. Pengawasan publik adalah kunci agar “kejar tayang” tak lagi menjadi tradisi tahunan.
Penulis:Alisugiono.












