Revitalisasi Budaya Keris Menggema di Pendopo Jebres: Akademisi Tekankan Pentingnya Spirit Pusaka bagi Generasi Muda

SURAKARTA, Batara.news — Pendopo Kecamatan Jebres, Jumat pagi (21/11/2025), menjadi pusat perhatian pegiat budaya. Meski acara Diskusi Publik bertema “Revitalisasi Budaya Keris, Menyemai Kembali Spirit Pusaka dalam Jiwa Bangsa” belum resmi dimulai, peserta dari berbagai kalangan sudah tampak memenuhi area pendopo sejak pukul 07.00 WIB.

Mayoritas peserta berasal dari mahasiswa, pelajar SMA–SMP, beberapa warga umum, serta praktisi tosan aji. Antusiasme ini menjadi penanda bahwa perhatian generasi muda terhadap dunia perkerisan dan warisan leluhur masih kuat meski di tengah arus modernisasi.

Nuansa pendopo Jawa terasa menyambut kedatangan peserta. Garuda Pancasila terpampang kokoh mengapit foto Presiden dan Wakil Presiden, menghadirkan suasana sakral dan sederhana yang sejalan dengan tema pelestarian budaya.

Dua narasumber utama pada diskusi ini adalah:

Dr. Kuntadi Wasi Darmojo, S.Sn., M.Sn.

Dosen Prodi Senjata Tradisional Keris, Jurusan Kriya, FSRD ISI Surakarta

Dr. R.T. Widodo Aribowo

Dosen Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya UNS

Moderasi acara dipandu oleh Alifah Dhea, mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa 2025.

Sementara Dr. Kuntadi Tekankan Menurunnya Literasi Perkerisan di Kalangan Muda

Dalam materi pengantarnya, Dr. Kuntadi menyoroti adanya penurunan pemahaman generasi muda terhadap budaya keris. Menurutnya, keris selama ini sering dipandang sebatas benda antik, padahal ia adalah penanda peradaban yang memuat nilai etika, keberanian, dan spiritualitas.

Ia menegaskan perlunya kolaborasi antara akademisi, komunitas budaya, pemerintah, dan institusi pendidikan agar literasi budaya keris dapat kembali mengakar.

“Jika kita ingin keris tetap hidup sebagai identitas bangsa, maka pengetahuannya harus diturunkan secara sistematis, terarah, dan bisa dijangkau generasi muda,” ungkapnya.

Dr. Widodo: Keris Cermin Watak dan Moral Bangsa

Melanjutkan sesi berikutnya, Dr. Widodo menggarisbawahi bahwa keris tidak boleh dipahami sebatas pusaka fisik. Bagi masyarakat Nusantara, keris adalah representasi moralitas—kejujuran, keberanian, integritas, hingga kebijaksanaan.

“Keris bukan sekadar logam tempa. Ia adalah cermin karakter manusia. Setiap bilah menyimpan pesan moral yang harus disemaikan kembali kepada generasi kita,” tuturnya.

Hadirnya para pelajar dan mahasiswa menjadi sinyal positif bahwa minat generasi muda terhadap warisan budaya masih hidup. Para praktisi tosan aji yang ikut hadir menyambut momentum ini, karena generasi muda jarang terlibat langsung dalam ruang dialog perkerisan yang serius dan berbasis ilmu.

Panitia menyediakan sertifikat, konsumsi, serta akses ilmu dari para narasumber, dengan pendaftaran melalui tautan resmi UNS.

Diskusi publik ini diharapkan mampu:

memperkuat kecintaan generasi muda terhadap budaya lokal,

merawat keberlanjutan ilmu para empu,

serta menyalakan kembali kesadaran bahwa keris adalah warisan moral, bukan sekadar artefak.

Acara berlangsung hingga selesai dengan sesi tanya jawab yang membuka ruang interaksi antara peserta dan narasumber, mempertemukan perspektif akademik, pengalaman praktis, hingga rasa ingin tahu generasi muda.

Di tengah derasnya modernisasi, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa keris adalah laku hidup, bukan hanya benda pusaka. Ia membentuk karakter, menuntun etika, dan menjadi jati diri bangsa.

Penulis: Alisugiono.