Meriahnya Acara Grebeg Meron di Sukolilo Pati, Sudah menjadi Budaya Tersendiri Yang Lestari Hingga Kini

Batara.news

Pati– Batara.news| warga Sukolilo Rayakan hari besar Maulid Nabi Muhammad SAW dengan acara perayaan Meron, Acara meriah ini sudah menjadi budaya tersendiri oleh warga Sukolilo dalam memeriahkanya setahun sekali bertepatan dengan bulan Maulid. (9/10/2022).

Purwito, Panitia grebek Meron menjelaskan asalmu asalnya ada tradisi Meronan di Sukolilo, ” ya jadi begini asal usul grebek Meron yang saat ini sudah menjadi tradisi budaya warga Sukolilo,” terang Purwito untuk menjelaskan asal usul grebek Meronan.

Menurutnya Konon, budaya meron tersebut mengikuti tradisi grebeg Sekaten, yang dilakukan oleh Keraton Surakarta dan Keraton Yogjakarta. namun tradisi meron memiliki corak khasnya tersendiri, yakni selain sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, tradisi ini juga menjadi wahana hiburan tersendiri bagi masyarakat sekitar.

Meriahnya Acara Grebeg Meron di Sukolilo Pati

Selain itu, tujuan diselenggarakannya tradisi meron ini tidak lain sebagai wujud syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat karunia dan rizki kepada masyarakat Sukolilo khususnya, Sekaligus sebagai bentuk promosi pariwisata bagi masyarakat Sukolilo, Pati.

Adapun Makna Meron memiliki arti gunungan, Sedangkan dalam bahasa Jawa kuno, meron berasal dari kata meron yang artinya perang, hal ini dikarenakan pada zaman dahulu meron diadakan saat situasi perang, Selain itu, ada juga yang menyebutnya dengan merhon atau diartikan “emper” (serambi). Karena sebelum diarak, meron dipajang terlebih dahulu di emper rumah kediaman pemiliknya, dari semua perangkat desa Desa Sukolililo,

Sedangkan menurut empunya, pengertian meron diambil dari bahasa Kawi “meru” yang berarti gunungan. Lalu meron dari bahasa Jawa kuno “meron” berarti mengamuk, artinya tradisi ini memperingati peristiwa perang Mataram-Pati.

Istilah meron juga disebut berasal daro bahasa Arab “Mi’roj”, artinya meninggi (gunungan yang meninggi). Kemudian meron dari Kereta Basa “Me-ron”, “Rame Tiron-tiron”.

Biasanya acara meron yang ada di Kecamatan Sukolilo Pati tidak hanya diisi dengan pagelaran kirab. Ada juga peringatan kematian atau haul Pendowo Limo (sebutan pendiri Desa Sukolilo). sehingga banyak persiapan yang perlu dilakukan.

Dalam menyiapkan pembuatan meron ini setidaknya memakan waktu sekitar 36 hari yang meliputi proses pembuatan ancak, mustaka, dan umbul-umbul. Adapun seminggu sebelum perayaan, hiasan berupa ayam jago dan mushalla (tergantung mana yang dibuat menurut adat) baru akan dibuat. Sedangkan pada malam tirakatan, akan dibuat aksesoris meron berupa kertas, umbul-umbul, janur, dan sebagainya di siang hari.

Lalu pada waktu maghrib, dilangsungkannya arak-arakan Barongan, Barongsai, Naga Liong, atau sekedar mengarak boneka besar dengan iringan musik dangdut.

Dalam pengertiannya sejarah Meron
Tradisi meron diperkirakan ada sejak awal abad ke-17 pasca pasukan Mataram menyerang Kabupaten Pati. Kala itu pasukan yang dipimpin Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among, Kanjeng Tumenggung Raja Meladi, Kanjeng Raden Tumenggung Candang Lawe, dan Kanjeng Raden Tumenggung Samirono gagal mengalahkan Adipati Pragola I. Sehingga pasukan ini melakukan perjalanan pulang dari Pati ke Mataram.

Saat itu pasukan tersebut melewati Desa Sukolilo, kampung halaman seorang Juru Srati gajah Kerajaan Mataram bernama Raden Ngabei Suro Kadam. Ketika perang Mataram dan Pati berlangsung, Suro Kadam ditugasi Panembahan Senapati sebagai Juru Telik Sandi.

Pasukan Mataram lalu memilih menetap di Desa Sukolilo setelah meninggalnya Adipati Pragolo I tahun 1600 M. Pasukan ini bermaksud berjaga-jaga apabila nantinya Pati melakukan serangan balik terhadap Mataram.

Pada masa itu pemerintahan Sukolilo masih berbentuk Kademangan dibawah kekuasaan Adipati Pragola I yang dipegang Suro Kerto, adiknya Raden Ngabei Suro Kadam. Orang inilah yang memberikan izin pasukan Mataram untuk menetap di Sukolilo hingga masa Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among Wafat di sana.

Rupanya menetapnya pasukan Mataram di Sukolilo itu bertepatan dengan bulan Maulid. Sedangkan pada tanggal 12 Maulid tahun Saka, di keratin Mataram tengah melaksanakan prosesi Sekaten. Mengingat pasukan Mataram yang masih trah dari Kusuma keratin sana, merasa harus melakukan tradisi Sekaten meski di daerah orang. Akhirnya pihak dalem keraton Mataram yang dipegang oleh Raja Hanyakrawati mengijinkan perayaan serupa Sekatenan meskipun pelaksanaan dilakukan sehari setelah Sekatenan.

Meski hampir memiliki kesamaan, prosesi meron ini memiliki perbedaan yang khas dari prosesi Sekatenan. Pada tradisi Meron, menggunakan nasi karak (nasi sisa yang dikeringkan) dan dibuat memanjang seperti pita disatukan dengan tali. Kemudian rencek atau nasi karak ini disusun meninggi seperti gunungan.

Sedangakan Tradisi Meron Selalu diperingati Setiap bulan Maulid Nabi muhammad SAW,Agar nantinya Desa Sulolilo tetap Tidak ada damak buruk atau bencana alam yang di inginkan oleh warga Sukolilo, ringkas cerita asal-usul grebeg Meron oleh Purwito panitia penyelenggara Meron.

/Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *