BOJONEGORO — Senin pagi, 29 Desember 2025, tanah KHDPK (Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus) di wilayah Kecamatan Temayang, Bubulan, Gondang, Sekar, Margomulyo, dan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, tak lagi sekadar hamparan sunyi. Di sana, jejak langkah petani, aktivis, dan aparatur negara bertemu dalam satu ikhtiar: menanam tebu, menanam harapan.
Perkumpulan masyarakat Rejo Semut Ireng bersama Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro memulai kolaborasi penanaman tebu sebagai upaya memadukan produktivitas lahan dengan keberlanjutan alam. Di bawah langit yang teduh, batang-batang tebu ditanam bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai simbol kerja bersama.
Koordinator Rejo Semut Ireng, Lulus Setiawan, S.H., menyebut kegiatan ini sebagai ruang perjumpaan antara niat baik masyarakat dan kebijakan pemerintah.
“Kami dari Rejo Semut Ireng ingin menunjukkan bahwa masyarakat bisa berkolaborasi secara sehat dengan pemerintah. Penanaman tebu di area KHDPK ini bukan sekadar kegiatan tanam, tapi langkah bersama untuk membangun kemandirian ekonomi petani sekaligus menjaga kelestarian lahan,” ujar Lulus.
Ia menegaskan bahwa gerakan ini sejalan dengan arah kebijakan pemerintah pusat dalam mendorong hilirisasi sektor pertanian.
“Kami mendukung penuh program pemerintah pusat tentang hilirisasi agar hasil pertanian tidak berhenti di bahan mentah, tetapi bisa diolah menjadi produk bernilai tambah di dalam negeri,” tegasnya.
Lebih jauh, Lulus berharap agar Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dapat menangkap peluang tersebut melalui penguatan peran daerah.
“Kami berharap pemerintah daerah bisa hadir lebih kuat, salah satunya melalui BUMD, untuk membangun unit pengolahan tebu sendiri di Bojonegoro.
Dengan begitu, nilai tambah bisa tinggal di daerah dan sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat,” tambah Lulus.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro, Zaenal Fanani, menegaskan bahwa kolaborasi semacam ini adalah fondasi penting pembangunan pertanian daerah.
“Kami sangat mengapresiasi keterlibatan kelompok masyarakat seperti Rejo Semut Ireng. Kolaborasi ini menjadi contoh bagaimana pemerintah dan masyarakat bisa berjalan seiring dalam mengoptimalkan lahan KHDPK secara produktif, berkelanjutan, dan tetap menjaga fungsi ekologisnya,” kata Zaenal Fanani.
Ia menambahkan bahwa pengembangan tebu di kawasan KHDPK memiliki arti strategis bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
“KHDPK tebu sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, karena nilai ekonomis tebu sangat besar. Dengan produksi minimal 60 ton per hektare, KHDPK tebu diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi angka kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur mencapai 35 persen,” pungkasnya.
Di KHDPK hari itu, yang ditanam bukan hanya batang tebu, tetapi juga keyakinan bahwa tanah, manusia, dan kebijakan bisa saling merawat. Bahwa dari kerja bersama, masa depan bisa tumbuh perlahan — setegak tebu yang kelak menguning di bawah matahari Bojonegoro.
Penulis: Alisugiono
