Di sela desir angin yang merayap dari lereng menuju dataran, hutan Bojonegoro Jawa timur seakan mengirimkan sebuah isyarat lirih—panggilan yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang masih menyisakan ruang bagi alam di sudut jiwanya. Di titik sunyi itulah Lulus Setiawan, Koordinator Nasional Komunitas Lingkungan Semut Ireng, berdiri laksana juru tafsir rimba, membaca bahasa pepohonan yang tak pernah sungguh diam.minggu(6/12/2025).
“Merawat hutan bukan sekadar menanam lalu berlalu,” ucapnya. Suaranya bergerak pelan, sehalus daun jati yang disentuh angin patah musim. “Ini tanggung jawab kita semua. Rusak dan pulihnya hutan selalu bermula dan berakhir di tangan manusia.”Curhatnya.
Kata-katanya mengalir seperti air yang mencari celah batu, menyentuh akar-akar kesadaran yang barangkali telah lama tertutup debu abai. Baginya, pelestarian bukanlah kerja satu hari atau satu kelompok; ia adalah ritus panjang, memerlukan kejujuran, kesabaran, dan keberanian untuk melampaui kepentingan sendiri.
Dalam percakapan yang mengalun, Lulus menyentuh sisi tergelap punggung hutan, illegal logging, bayangan pekat yang mencabik sendi-sendi rimba.
“Kadang hukum kita seperti parang yang kehilangan tajamnya,” tuturnya. “Ia mengayun, tetapi tidak memutus.”
Ia kembali menghidupkan falsafah leluhur,Tebang Pilih, Tebang Tanam — etika ketika hutan masih dianggap saudara, bukan sekadar komoditas.
“Menebang itu bukan merampas,” bisiknya. “Itu perjanjian. Bila mengambil satu, kembalikan dua.”Akadnya
Pembicaraan merambat ke dunia industri — raksasa yang langkahnya kerap terlalu berat bagi tanah yang rapuh.
Lulus lantang berharap: penggunaan kayu, kertas, dan bahan baku bersertifikat lestari harus menjadi budaya baru agar jejak industri tak meninggalkan luka berlapis yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Kepada para petani, ia menanam harapan lain: agroforestri, pengomposan, dan cara bercocok tanam yang menyembuhkan tanah.
“Tanah itu ibu,” katanya. “Dan ibu selalu kembali memberi bila kita memperlakukannya dengan hormat.”
Nada suaranya menghangat saat berbicara tentang rakyat kecil—mereka yang sering dianggap pinggiran, padahal justru inti perubahan.
“Gerakan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil,” ujarnya. “Kurangi kertas, pilah sampah, pilih produk ramah bumi. Sederhana, tapi bila dilakukan bersama, bisa mengguncang arah zaman.”
Soal reboisasi, ia menggeleng—menolak ritual setengah hati yang terlalu sering dijadikan seremoni.
“Menanam itu mudah. Merawat sampai tumbuh, itu yang sukar.
Jangan warisi budaya menanam untuk difoto.
Warisi budaya menjaga sampai hidup.”
Saat senja mulai turun, pucuk-pucuk pepohonan memantulkan cahaya emas seperti memberi salam terakhir sebelum malam menguasai rimba. Lulus menatap ke arah itu, seolah membaca pesan yang hanya ia pahami.
“Hutan itu rumah,” katanya lembut. “Rumah bagi burung, serangga, dan bagi manusia yang kadang lupa cara berterima kasih.”
Dalam sunyi yang mengendap, hutan seperti menghela napas panjang—menunggu apakah manusia akan kembali pada akarnya atau terus berjalan menjauh, tersesat oleh nafsu yang diciptakannya sendiri.
Dan kata-kata Lulus meluruh ke tanah seperti doa yang mengharap akar untuk tumbuh menjadi kesadaran baru:
Bahwa merawat hutan bukan sekadar memilih hidup bagi pepohonan,
tetapi memilih hidup bagi kita semua.
/Ali S
