Aroma ketidakteraturan yang sejak awal merebak dari kericuhan Olimpiade Matematika tingkat SD/MI akhirnya memaksa Pemerintah Kabupaten Bojonegoro turun tangan langsung. Selasa siang (9/12/2025),
Aula Setyowati tak lagi menjadi ruang seremonial pemerintahan, melainkan berubah menjadi ruang bedah perkara—tempat fakta-fakta yang selama ini tercecer dipertemukan dalam satu meja audiensi.
Forum itu dipimpin langsung Wakil Bupati Bojonegoro, Nurul Azizah, dan dihadiri Kapolsek Kota, Asisten I Setda, Kepala Dinas Pendidikan, perwakilan Kemenag, serta pihak panitia Olimpiade Matematika yang kini berada di pusaran sorotan publik.
Sejak menit pertama, Wabup Nurul Azizah langsung menancapkan fokus pada dua kejanggalan mendasar yang dinilainya tak bisa ditawar: pertama, ketiadaan izin resmi dari Dinas Pendidikan maupun Kemenag;
kedua, ketidaksinkronan data jumlah peserta yang dilaporkan panitia kepada kepolisian dengan kondisi riil di lapangan.
“Ini kegiatan yang melibatkan ribuan pelajar. Prosedur minimal saja tidak dipenuhi,” tegas Nurul.
Ia bahkan menyoroti metode penilaian yang diterapkan panitia, yang disebut hanya mengoreksi naskah tercepat dikumpulkan.
“Orang tua datang untuk mengukur kemampuan anak, bukan kecepatan berlari. Kalau seperti ini, ini bukan olimpiade matematika,” sindirnya tajam.
Penjelasan kemudian disampaikan Kapolsek Kota Bojonegoro, AKP Agus Elfauzi. Ia mengungkapkan bahwa dalam pengajuan awal, panitia menyampaikan jumlah peserta sekitar 1.000 anak. Namun dalam koordinasi lanjutan, angka itu melonjak drastis menjadi 2.000 peserta.
Dengan keterbatasan informasi tersebut, kepolisian mengerahkan 12 personel pengamanan.
“Terlepas kegiatan ini berizin atau tidak, massa sebesar itu tetap wajib kami amankan,” ujarnya.
Saat kericuhan pecah, polisi fokus meredam emosi wali murid dan mengakomodasi tuntutan utama massa: pengembalian uang pendaftaran.
Nada kritik semakin keras ketika Asisten I Setda Bojonegoro, Djoko Lukito, angkat bicara. Ia menilai penyelenggaraan kegiatan ini jauh dari standar profesional.
“Kalau istilah orang Jawa, ini seperti obak dakon. Sekadar yang penting jalan,” ucapnya tanpa basa-basi.
Djoko mempertanyakan absennya dokumentasi peserta, ketiadaan SOP pengamanan, hingga ketidakmampuan panitia menunjukkan bukti dasar penyelenggaraan kegiatan.
Senada, Kepala Dinas Pendidikan Bojonegoro, Anwar Mukhtadho, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerima pengajuan izin atau koordinasi apa pun terkait olimpiade tersebut.
“Kami tidak tahu mekanisme lomba, standar soal, maupun sistem penilaian. Padahal kegiatan kompetisi pelajar harus punya ukuran akademik yang jelas dan terukur,” tegasnya.
Pengakuan Mengejutka, Data Hilang, Laptop Raib, Barang Dijarah
Puncak ketegangan audiensi terjadi saat Ita Puspitasari, ketua panitia dari SR Management, memberikan kesaksian. Dengan suara bergetar, ia mengakui bahwa saat kericuhan terjadi, panitia mengalami kehilangan besar.
“Data peserta hilang, laptop hilang, barang-barang panitia juga dijarah,” ungkapnya di hadapan forum.
Ia bahkan menceritakan adanya beberapa pria yang mendobrak pintu ruangan panitia, salah satunya disebut mengacungkan senjata tajam.
“Dia teriak mencari anaknya. Tapi keluar tanpa membawa siapa pun. Teman saya melihat dia pergi sambil tertawa,” tuturnya.
Merasa terancam, Ita mengaku melarikan diri ke Polsek Kota Bojonegoro untuk mencari perlindungan.
Namun di titik inilah publik mulai menangkap kontradiksi baru.
Dalam forum, Ita menyatakan seluruh data hilang. Tetapi beberapa menit kemudian, kepada awak media, ia menyebut bahwa sebagian dana pendaftaran sudah dikembalikan, bahkan mencapai sekitar Rp10 juta.
Pernyataan yang saling berkelindan ini memicu tanda tanya besar soal transparansi dan konsistensi panitia.
Wabup Nurul Azizah menegaskan bahwa pengembalian dana bukan sekadar formalitas, melainkan tanggung jawab moral. Permintaan waktu satu bulan dari panitia langsung ditolak forum.
Akhirnya diputuskan:
> Pengembalian dana harus tuntas maksimal dua minggu.
“Hari ini sekitar Rp10 juta sudah kami kembalikan. Karena data hilang, sekolah atau peserta diminta menghubungi kami langsung,” ujar Ita.
Audiensi ini menegaskan satu hal: persoalan Olimpiade Matematika Bojonegoro tidak berhenti pada kericuhan semata. Izin yang tak pernah diajukan, data yang tak konsisten, metode penilaian yang dipertanyakan, hingga pengakuan kehilangan data dan barang, menjadi catatan serius bagi pemerintah daerah.
Batara.news akan terus mengawal proses pengembalian dana dan langkah lanjutan Pemkab Bojonegoro, agar kekacauan serupa tidak kembali terulang—terutama atas nama pendidikan anak-anak.
Penulis: Alisugiono
