BOJONEGORO, Batara.news – Siang yang teduh menyelimuti Dukuh Sampang, Desa Buntalan, ketika langkah para punggawa Kejaksaan Negeri Bojonegoro menapaki halaman sanggar Perguruan Ilmu Sejati. Tirai hijau bertuliskan “Rapat Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Dalam Masyarakat (PAKEM)” bergoyang pelan ditiup angin Temayang—seolah ikut menyapa suasana yang memadukan hening pegunungan dengan denyut kesadaran akan pentingnya hidup rukun dan saling menjaga.
Rombongan Kejaksaan yang dipimpin M. Arifin memasuki ruang pertemuan dengan sikap takzim—bukan membawa vonis, bukan pula prasangka. Mereka datang membawa telinga yang ingin mendengar, hati yang ingin memahami, dan tangan yang ingin merangkul. Para sesepuh dan jamaah menyambut hangat, menciptakan aura perjumpaan yang merunduk dalam kesahajaan; seolah hukum dan spiritualitas tengah duduk berdampingan, berbincang tenang di atas meja kayu yang telah lama menjadi saksi laku kebatinan masyarakat setempat.
Dalam sambutannya, Mbah Sampan, mewakili para sesepuh Perguruan Ilmu Sejati, mengurai pelan tentang akar ajaran yang mereka jaga turun-temurun.
“Perguruan Ilmu Sejati adalah ajaran budi luhur, tuntunan leluhur untuk merawat kerukunan dan akhlak antarsesama,”
tuturnya. Kalimatnya mengalir bagai doa yang menenteramkan, mengingatkan bahwa kebaikan sering tumbuh dari tanah yang dijaga dengan kesahajaan.
Menanggapi itu, Arifin menyampaikan penghargaan mendalam. Ia menegaskan bahwa nilai-nilai moral yang dijunjung para penghayat Ilmu Sejati selama ini menjadi pagar halus yang ikut menjaga ketenteraman sosial.
“Ajaran sejati tidak pernah berseberangan dengan hukum. Ia justru menjadi cahaya yang menuntun masyarakat pada ketaatan, ketertiban, dan kerukunan,”
ujarnya, mantap namun teduh. Sebuah pengakuan bahwa spiritualitas dan hukum bukan dua jalan yang saling membelakangi.
Ia menambahkan, keberadaan Perguruan Ilmu Sejati telah memberi warna damai dalam kehidupan masyarakat Bojonegoro. Nilai-nilai luhurnya berjalan seiring dengan upaya negara menjaga kehidupan yang tertib, saling menghormati, dan bebas dari prasangka.
Rapat koordinasi PAKEM hari itu menjelma menjadi wadah dialog yang hidup—bukan ruang kecurigaan, melainkan perjumpaan dua kesadaran: bahwa setiap keyakinan memiliki martabat, dan bahwa hukum yang dihayati dengan benar adalah jembatan yang mempertemukan, bukan tembok yang memisahkan.
Dari percakapan yang mengalir hangat, lahirlah kembali kesadaran bahwa hukum dan spiritualitas dapat berjalan berdampingan, saling meneguhkan, dan bersama menjaga keseimbangan antara keyakinan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Sebagai penutup, acara dirangkai dengan penyerahan sembako secara simbolis oleh pihak Kejaksaan kepada jamaah Perguruan Ilmu Sejati—gestur kecil yang memantulkan pesan besar: bahwa merawat persaudaraan tak cukup hanya lewat kata-kata; ia perlu dihadirkan, disentuh, dan dibagi.
Pertemuan itu pun berakhir dengan amanat yang meresap ke relung hati:
kerukunan adalah tugas bersama, dan hanya dengan saling menjaga, damai dapat terus tumbuh di tanah Bojonegoro.
Penulis: Alisugiono
