Bojonegoro — Barat.news||
Korupsi kerap kita bayangkan bersemayam di gedung tinggi, berjas mahal, dan rapat berpendingin ruangan. Padahal, dalam senyap, ia juga tumbuh di jalan-jalan tanah desa—di balik stempel basah, proposal kegiatan, dan laporan pertanggungjawaban yang tak pernah benar-benar dibaca warga.
Program “Jaga Desa” hadir membawa pesan tegas: desa bukan zona steril dari korupsi. Justru di sanalah dana negara mengalir deras tanpa selalu diiringi kesiapan sumber daya manusia, sistem pengawasan, dan budaya transparansi.
Dana Desa sejatinya adalah berkah. Namun dalam praktiknya, berkah bisa berubah menjadi beban ketika aparat desa dibiarkan berjalan sendirian di hutan regulasi. Banyak kepala desa tersandung bukan semata karena niat jahat, melainkan karena ketidaktahuan, kelalaian, atau kebiasaan lama yang diwariskan secara turun-temurun: “sing penting rampung.”
Di titik inilah Jaga Desa diuji. Apakah ia akan menjadi ruang edukasi dan pendampingan, atau sekadar spanduk program yang berakhir sebagai formalitas proyek? Pencegahan korupsi tidak cukup dengan slogan. Ia menuntut keberanian membongkar kebiasaan lama: musyawarah yang hanya formalitas, laporan yang copy-paste, dan pengawasan yang berhenti di tanda tangan.
Lebih jauh, korupsi desa tidak selalu berbentuk pencurian uang. Ia bisa hadir sebagai pembiaran, nepotisme, hingga pengkondisian proyek yang menguntungkan kelompok tertentu. Di sinilah masyarakat desa sering kali menjadi korban ganda: haknya dirampas, suaranya dibungkam oleh relasi sosial yang timpang.
Program Jaga Desa semestinya tidak berdiri sendiri. Ia harus bersanding dengan media lokal yang berani, pendamping desa yang independen, dan aparatur penegak hukum yang tidak hanya datang saat kasus sudah meledak. Desa perlu dijaga, bukan dicurigai; dibina, bukan ditakuti.
Visual bertopeng dalam kampanye Jaga Desa adalah simbol tepat: korupsi sering menyamar sebagai kebiasaan, berlindung di balik dalih “demi warga” atau “sudah dari dulu begitu.” Topeng inilah yang harus dibuka, pelan tapi pasti.
Jika desa bersih, negara kuat. Jika desa dibiarkan gelap, korupsi akan terus menemukan rumahnya. Maka Jaga Desa bukan sekadar program—ia adalah pilihan moral: apakah kita ingin desa menjadi fondasi republik, atau sekadar ladang empuk bagi penyimpangan yang dibiarkan.
(Gion)
