Bojonegoro — Batara.news | Gelombang kritik terhadap penyelenggaraan Olimpiade Matematika SD/MI Bojonegoro 2025 semakin deras. Selain dugaan pelanggaran izin dan manajemen acara yang dinilai amburadul, suara para orang tua peserta menambah daftar panjang sorotan. Banyak di antara mereka mengaku kecewa, syok, hingga menilai bahwa acara tersebut telah menciptakan trauma bagi anak-anak.
Salah satu orang tua peserta yang diwawancara Minggu (07/12/2025) menyampaikan kekecewaannya secara terbuka. Ia menilai bahwa acara berskala besar tersebut seharusnya dirancang dengan matang, bukan justru membahayakan anak-anak yang masih berada pada usia sekolah dasar awal.
“Apa kecewa dan menyayangkan Pak. Harusnya event lomba seperti itu, sebanyak itu pesertanya, panitianya kan sudah matang dan sudah tahu apa yang harus dilakukan. Nah, hal ini kan menjadi miris karena anak yang harusnya proses belajar cari pengalaman ikut lomba, tapi justru jadi trauma — bukan hanya anak, tapi orang tua juga.”
Ia menggambarkan kondisi keramaian yang tak terkendali, di mana ribuan anak dan wali murid berdesakan di area Gedung Serbaguna yang terbatas.
“Karena banyaknya anak dan orang tua ribuan seperti itu. Terus cari anak di tempat yang segitu luasnya, akhirnya banyak kepanikan. Nah harusnya ya apa, kita melihat panitia itu belum siap dan tidak tanggung jawab,” tegasnya.
Tak sedikit orang tua yang terlihat emosi, bahkan mengeluarkan makian akibat kekacauan yang terjadi.
“Tadi banyak orang tua yang protes juga sampai misuh-misuh karena panitianya seenaknya begitu loh. Ini kan anak kelas 1–2, bukan anak kelas 5–6,” keluhnya.
Keluhan ini menggambarkan kekhawatiran besar: peserta berusia sangat muda ditempatkan dalam situasi rawan tanpa prosedur keamanan memadai.
Manajemen Panitia Dipertanyakan: Usia Peserta Tidak Diimbangi Pengamanan
Pendapat orang tua ini memperkuat temuan lapangan bahwa panitia diduga tidak memperhitungkan standar keselamatan untuk anak usia dini—terutama kelas 1 dan 2 SD yang rawan panik, mudah terpisah, dan membutuhkan pendampingan lebih intensif.
Minimnya petugas keamanan, tidak adanya jalur evakuasi, serta tumpukan massa yang menyumbat pintu keluar membuat suasana semakin kacau. Banyak anak menangis, kebingungan, bahkan terpisah dari orang tua.
Dalam perspektif keselamatan publik, kondisi ini merupakan indikator kuat adanya kelalaian manajemen kerumunan.
Komentar dari sejumlah wali murid memperkuat kritik bahwa panitia:
Tidak siap menghadapi lonjakan peserta
Tidak memiliki SOP pengamanan
Tidak menjalankan pengaturan arus keluar-masuk
Tidak menyiapkan jalur komunikasi dan informasi
Tidak memahami standar penyelenggaraan kegiatan berbasis anak
Refund uang pendaftaran yang dijanjikan panitia dinilai belum cukup menjawab persoalan utama — yaitu keamanan anak dan pertanggungjawaban legal.
/Ali S
