Bojonegoro — Batara.news ||
Pernyataan Dinas Pendidikan dan Kemenag Bojonegoro yang menegaskan tidak mengetahui sama sekali pelaksanaan Olimpiade Matematika SD/MI yang berujung kericuhan pada Minggu (7/12/2025) memunculkan pertanyaan baru: bagaimana kegiatan yang melibatkan ribuan peserta itu bisa berjalan tanpa terdeteksi oleh lembaga pembina pendidikan?
Kasi SD–SMP Dinas Pendidikan Bojonegoro, Anang Budiantara, memastikan tidak ada satu pun bentuk koordinasi yang dilakukan panitia.
“Tidak ada koordinasi, tidak ada persuratan, dinas sama sekali tidak mengetahui adanya kegiatan itu. Kalau ada fee, itu urusan oknum,” tegas Anang, Senin (8/12/2025).
Pernyataan senada disampaikan Kasi Pendma Kemenag Bojonegoro, Solihul Hadi, yang mengaku justru mengetahui kegiatan tersebut setelah kericuhan viral di media sosial.
“Penyelenggara tidak pernah melakukan permintaan izin. Tidak ada koordinasi sama sekali. Kami juga kaget karena sebelumnya tidak ada komunikasi apa pun ke kami,” ujarnya.
Meski menegaskan tidak dilibatkan, kenyataan bahwa sebuah kegiatan masif bisa masuk ke sekolah dan madrasah tanpa izin memunculkan kritik terhadap lemahnya pengawasan administratif.
Bagaimana kegiatan edukasi berskala kabupaten dapat menyebar ke puluhan sekolah tanpa diketahui instansi pembina?
Mengapa publikasi dan pencatutan nama lembaga tidak langsung dikonfirmasi otoritas terkait?
Apakah sistem filter kegiatan pendidikan eksternal selama ini memang tidak berjalan?
Kemenag bahkan menegaskan bahwa klaim kerja sama panitia tidak memiliki dasar administratif.
“Kalau mereka mengaku bekerja sama dengan kami, mana buktinya? Suratnya saja tidak ada,” tegas Solihul Hadi.
Kabar bahwa sebagian sekolah menerima fee dari panitia juga menambah panjang daftar pertanyaan. Baik Disdik maupun Kemenag menyebut hal tersebut sebagai “urusan oknum”.
Namun tanpa mekanisme verifikasi kegiatan eksternal, potensi penyimpangan seperti ini tentu terbuka lebar.
Dalam konteks formalitas, kegiatan edukasi berbayar yang masuk ke sekolah seharusnya melalui:
1. pemberitahuan resmi ke dinas/kanwil,
2. verifikasi kelayakan acara,
3. persetujuan tertulis,
4. penyampaian informasi terstruktur kepada sekolah.
Informasi bahwa sejumlah guru tidak dapat menghubungi panitia pasca-kericuhan membuat situasi semakin kabur. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa manajemen kegiatan tidak memiliki kesiapan untuk menangani risiko, apalagi tanggung jawab pasca-insiden.
Dinas dan Kemenag mengaku masih menunggu itikad baik panitia.
Potensi Langkah Hukum: Bergantung Sikap Panitia
Kemenag membuka kemungkinan melibatkan jalur hukum bersama disdik jika panitia tidak menunjukkan tanggung jawab.
“Kalau panitia bertanggung jawab, kita tidak memperpanjang. Tapi kalau tinggal gelanggang, colong playu, kami akan mempertimbangkan upaya hukum,” tegas Solihul.
Namun sebagian publik menilai bahwa pemerintah daerah seharusnya lebih proaktif, mengingat kegiatan ini melibatkan anak-anak usia dini dan memicu kepanikan .
Baik Disdik maupun Kemenag berharap agar setiap kegiatan pendidikan wajib melalui koordinasi resmi agar keamanan dan kapasitas panitia bisa diverifikasi sejak awal.
“Jika sejak awal ada koordinasi, kami bisa mengecek persiapan dan kelayakannya. Karena tidak ada koordinasi, terjadilah hal seperti ini,” pungkas Solihul.
Kericuhan Olimpiade Matematika ini menjadi alarm bahwa pengawasan kegiatan pendidikan di Bojonegoro masih memiliki celah besar. Tanpa pembenahan sistem, bukan mustahil kejadian serupa terulang.
Penulis:Alisugiono.
