TUBAN — Batara.news
Setelah proses penyelidikan yang cukup panjang, Satreskrim Polres Tuban akhirnya menetapkan Kepala Desa Tingkis, Kecamatan Singgahan, Agus Susanto, sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyewaan lahan milik PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) tanpa izin resmi. Penetapan itu tertuang dalam Surat Penetapan Nomor S.Tap/283/XI/RES.1.11./Satreskrim tertanggal 3 November 2025.
Dalam perkara ini, penyidik menilai tindakan penyewaan lahan milik perusahaan tanpa kewenangan memenuhi unsur Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan, dengan ancaman pidana 1 hingga 2 tahun penjara.
Kasus ini mencuat setelah warga menyadari bahwa lahan yang semestinya diperuntukkan bagi program penghijauan diduga disewakan oleh kades kepada masyarakat. PT SBI menegaskan secara tertulis bahwa pihaknya tidak pernah memberikan kuasa kepada siapa pun—termasuk pemerintah desa—untuk mengelola apalagi menyewakan lahan tersebut.
Dengan demikian, tindakan penyewaan yang dilakukan kades diduga tidak hanya melampaui wewenang, tetapi juga menimbulkan kerugian pada masyarakat pengguna lahan dan pihak perusahaan selaku pemilik aset.
Yang membuat publik justru mempertanyakan itikad baik terlapor adalah langkah hukum yang dilakukan setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka. Alih-alih fokus pada proses klarifikasi pidana, Agus Susanto justru menggugat para pelapor secara perdata atas tuduhan wanprestasi.
Namun drama hukum itu tak berlangsung lama. Pada Kamis, 4 Desember 2025, gugatan tersebut resmi dicabut melalui persidangan di Pengadilan Negeri Tuban.
Pencabutan gugatan itu dinilai para pelapor sebagai tanda bahwa langkah hukum tersebut sejak awal tidak memiliki dasar yang kuat dan dianggap hanya sebagai upaya defensif untuk memunculkan tekanan balik terhadap pihak yang melapor.
Pelapor: “Tersangka Belum Ditahan, Kami Khawatir Bukti Hilang”
Meski status tersangka telah melekat sejak awal November, hingga berita ini diterbitkan belum ada tindakan penahanan dari penyidik. Hal inilah yang dikhawatirkan warga, khususnya para pelapor—sebagian besar petani yang merasa dirugikan.
“Seorang kades mungkin tidak akan kabur, tetapi kami khawatir barang bukti justru hilang. Baik surat-surat otentik maupun keterangan yang berkaitan dengan perkara,” ujar salah satu pelapor.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dalam banyak kasus pidana administrasi desa, dokumen-dokumen penting sangat mudah “berpindah tangan” atau dimanipulasi bila tersangka tetap bebas dan masih memiliki akses terhadap arsip.
Para pelapor menegaskan bahwa restorative justice sebenarnya sudah dicoba sejak awal pelaporan. Namun proses itu dinilai gagal total. Gugatan perdata yang dilayangkan kades justru dianggap sebagai tanda bahwa terlapor tidak beritikad baik menyelesaikan masalah secara damai dan jujur.
Menurut para pelapor, RJ tidak bisa hanya mengikuti maunya terlapor,
RJ wajib memulihkan hak korban, bukan sekadar mengganti kerugian materi,
Proses pidana tetap berjalan karena menilai perbuatan, bukan sekadar nilai kerugian.
Dengan kata lain, mengembalikan uang tidak serta-merta menghapus unsur pidana bila perbuatan penggelapan tetap terjadi.
Petani Meminta Keadilan dan Transparansi Proses Hukum
Para pelapor—yang mayoritas petani—menyerukan agar Polres Tuban mempercepat proses hukum secara profesional dan tanpa intervensi.
“Kami akan mengawal. Kami ingin melihat apakah dalam hukum ini masih ada roh keadilan, atau hukum hanya menjadi nyanyian pasal yang mudah dibeli,” ujar mereka.
Pernyataan tersebut mencerminkan kekecewaan mendalam yang mulai tumbuh di masyarakat pedesaan, terutama ketika proses hukum dinilai lambat dan tidak transparan.
Selain memberikan dukungan moril kepada penyidik untuk bertindak tegas, warga juga menegaskan bahwa penegakan hukum bukan hanya tentang menghukum seseorang, tetapi memastikan bahwa jabatan publik tidak dijadikan alat untuk menyimpangkan kewenangan demi keuntungan pribadi.
/Ali S
