Di pagi yang mestinya bening, kawasan KPS di Dusun Sukun memanggil lirih—seperti seseorang yang kehilangan kata karena dadanya dipenuhi luka. Hening itu terasa janggal, sebab ia bukan lagi keteduhan, melainkan jeda panjang yang menandai kehilangan. Di antara kabut tipis, tampak bekas-bekas akar tercabut; tanah menganga seperti kulit yang disayat tanpa permisi.Kamis(04/12/2025)
Pohon-pohon yang dulu berdiri gagah, yang biasa menari bersama angin dan melindungi mata air, kini roboh dalam diam. Mereka tiarap di tanah, daun-daunnya berserak seperti huruf-huruf terakhir dari kitab alam yang dirusak tangan manusia. Setiap batang yang tumbang bukan sekadar kayu, melainkan gugurnya akal sehat dan nurani bersama.
Dari pojok kampung, suara duka datang dari petani—para penjaga sejati hutan, yang sejak dulu memanggil kawasan itu “rumah bersama”. Mereka tahu, lebih dari siapa pun, bahwa hutan yang rusak adalah hidup yang retak. Sungai bisa meredup, tanah bisa merana, dan generasi mendatang bisa kehilangan tempat berpijak yang layak.
Di tengah getir itu, Koordinator Nasional Rejo Semut Ireng, Lulus Setiawan, melemparkan kalimat yang menghujam:
“Jika pohon-pohon itu hilang, berarti banyak orang turut serta. Tak mungkin satu orang saja.”Ungkapnya sergah.
Kalimat itu menggema seperti cambuk bagi nurani publik. Bagaimana mungkin sebuah Kawasan Perlindungan Setempat—bahkan LDTI—bisa kehilangan pohon tanpa sepengetahuan siapa pun? Di mana pengawasan? Di mana keberanian menjaga? Di mana batas antara pemeliharaan dan pembiaran?
Kawasan itu sejatinya adalah jantung hijau Desa Sambongrejo—paru-paru kampung yang menghidupi tanah sekaligus menyimpan cerita leluhur. Namun kini, seolah paru-paru itu mendadak bolong, menghembuskan keletihan dan kehilangan yang tak diucapkan.
KPH Bojonegoro menyatakan akan mengambil tindakan tegas bila terbukti ada penebangan tanpa izin. Harapan itu ada, namun bayang-bayang skeptis juga ikut berjalan di sampingnya. Hukum yang hanya hidup di atas kertas takkan menghidupkan kembali pohon-pohon yang tumbang. Pengawasan yang hanya formalitas takkan menyelamatkan hutan dari kepentingan yang diam-diam menggerogoti akar.
Yang paling menyakitkan bukanlah pohon yang hilang—melainkan rasa malu yang ikut runtuh. Ada tangan yang bekerja dalam gelap, ada mata yang sengaja memejam, dan ada suara yang memilih diam saat alam dianiaya.
Kini, para petani, warga, dan alam itu sendiri menunggu satu keajaiban kecil: keberanian menegakkan keadilan. Mengembalikan hutan menjadi ruang hidup yang dihormati, bukan lahan yang dipandang sebagai angka atau keuntungan sesaat.
Sebab ketika pohon runtuh, yang gugur tidak hanya batangnya—melainkan masa depan, ketulusan merawat bumi, dan ingatan tentang siapa kita seharusnya: manusia yang menjaga, bukan yang menghabisi.
Penulis:Alisugiono.
