PATI, BATARA.NEWS – Pagi itu, udara di Pati tidak hanya dipenuhi kelembapan khas pesisir, tetapi juga oleh getaran keputusasaan yang menusuk dari hati para ibu.
Di depan Posko Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB), yang dahulu riuh dengan orasi dan semangat perlawanan, kini hanya ada barisan wanita muda dengan wajah pucat dan mata sembab.
Mereka adalah istri dan ibu dari para pria yang kini mendekam di Polda Jawa Tengah, ditetapkan sebagai tersangka insiden ricuh demo 13 Agustus 2025 di Pati yang berujung pada hangusnya mobil Provost Polres Purwodadi.
Tanggal 13 Agustus adalah titik kulminasi amarah warga terhadap kebijakan kontroversial kenaikan PBB-P2. Namun, bagi keluarga yang kini datang memohon belas kasihan, tanggal itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak berkesudahan.
Jeritan Polos yang Merobek Hati
Di tengah kerumunan yang tertutup rapat, sebuah momen memilukan menjadi saksi bisu pengkhianatan ini.
Seorang anak perempuan yang mungkin baru berusia 4 tahun, memegang erat gamis ibunya, mendongak dan melontarkan pertanyaan yang merobek logika dan nurani:
“Bu, kapan Ayah pulang? Kata Kakek, Ayah pergi demo biar kita makannya enak.”
Sang ibu, Siti (bukan nama sebenarnya), langsung memeluk anaknya, membiarkan air matanya tumpah ruah membasahi rambut si kecil. Ia tak kuasa menjawab.
Bagaimana ia harus menjelaskan bahwa “demo” yang dijanjikan sebagai perjuangan keadilan, kini menjerat Ayah mereka sebagai pelaku kriminal? Bahwa impian akan ‘makan enak’ telah berganti menjadi ketakutan akan tagihan listrik dan susu formula yang menipis.
Anak-anak ini, yang seharusnya menikmati masa kecilnya, dipaksa menjadi saksi bisu atas ambisi politik yang berujung tragedi personal.
Acuh Tak Acuh di Balik Bendera AMPB
Pihak keluarga datang dengan satu harapan: bantuan hukum dan jaminan hidup dari AMPB, organisasi yang mereka yakini telah memobilisasi suami-suami mereka. Namun, yang mereka temui hanyalah gerbang hati yang terkunci.
“Kami seperti pengemis. Dulu, mereka datang, mengajak suami kami berjuang, menjanjikan solidaritas. Sekarang, setelah suami kami ditahan, mereka acuh dan tak menganggap kami ada,” tutur seorang wanita lain, yang suaminya dituduh terlibat dalam perusakan.
Informasi internal menyebutkan bahwa fokus AMPB kini beralih kepada isu-isu lain, meninggalkan para tersangka dan keluarganya dalam kekosongan dukungan.
Padahal, banyak dari para demonstran yang ditahan adalah pedagang kecil, buruh, dan pekerja harian yang penangkapannya berarti terputusnya satu-satunya sumber nafkah keluarga.
Mereka tidak meminta revolusi. Mereka hanya memohon agar suami mereka, para pencari nafkah, bisa pulang.
Mereka Hanya Ingin Pulang
Kini, pertanyaan terbesar bagi mereka bukanlah soal Bupati Pati atau kebijakan yang dibatalkan, tetapi siapa yang akan memberikan jaminan hidup untuk anak-anak mereka.
AMPB, sebagai motor penggerak aksi yang berujung ricuh itu, dianggap telah melakukan pengkhianatan moral. Mereka mendorong massa ke garis depan konfrontasi, namun menarik diri saat risiko hukum datang menjemput.
“Kepada siapa lagi kami harus meminta? Tidak ada pengacara yang mendampingi kami secara serius. Kami hanya bisa berdoa, semoga yang berkuasa di negeri ini bisa melihat air mata kami. Mereka hanya ingin suaminya pulang untuk bisa bekerja, menafkahi anak dan istri,” tutup Siti, lirih, sambil memeluk anaknya erat, seolah-olah dekapan itu adalah benteng terakhir melawan dunia yang terasa begitu kejam. (red)










