Bojonegoro, Batara.news || Jumat (24/10/2025) –
Di pojok warung kopi dekat jantung Kota Bojonegoro, seorang lelaki tua tampak sibuk menulis di buku catatan lusuhnya. Rambutnya memutih, tangannya bergetar halus, tapi matanya masih tajam — menatap setiap gerak kehidupan di sekitarnya. Dialah Mbah Alek, sesepuh jurnalistik Bojonegoro yang namanya dikenal di kalangan wartawan senior.
Meski sudah lama tak turun ke lapangan, semangatnya untuk menulis tak pernah padam. “Wartawan itu bukan soal umur, tapi nurani. Selama hati masih peka, pena harus tetap hidup,” ujarnya sambil menyesap kopi hitam.
Mbah Alek hidup sederhana. Setelah istrinya meninggal beberapa tahun lalu, ia tinggal sendirian di rumah peninggalan orang tua. Di usia yang kian senja, ia masih berkeliling membawa catatan, mencatat kisah kecil dari rakyat kecil.
“Sekarang berita banyak yang kejar sensasi. Padahal dulu, kami menulis untuk menggugah,” katanya lirih.
Beberapa wartawan muda yang sering nongkrong di warung itu menyapanya dengan hormat. “Beliau panutan. Kalau Mbah Alek ngomong, kami dengarkan,” kata Ali, jurnalis muda Bojonegoro Batara.news.
Meski hidupnya tak berlimpah harta, Mbah Alek dikenal kaya pengalaman dan kebijaksanaan. Di tengah geliat digital dan derasnya arus media sosial, ia tetap menjadi simbol jurnalisme yang jujur dan beretika.
“Selama masih bisa menulis, aku tak merasa tua,” tutupnya sambil tersenyum.
Penulis;Alisugiono












