Bojonegoro-Batara.news||
Aparat Penegak Hukum di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, nampaknya perlu menyikapi serius ihwal maraknya praktik dugaan ajang bisnis dalam Program Pendaftaran Tanah Sitematis Lengkap (PTSL).
Pasalnya, dibalik program unggulan Presiden Joko Widodo dibidang pensertifikatan tanah secara masal tersebut, kerap terjadi ajang pungutan berdalih kesepakatan yang dibebankan kepada para pemohon.
Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi lantaran tidak adanya pengawasan dari Aparat Penegak Hukum di Bojonegoro terhadap panitia pelaksana tingkat Desa selaku pihak yang mengakomodir kebutuhan dan pendataan peserta program PTSL.
Sehingga, hal diatas kerap dijadikan celah empuk untuk mendapatkan cuan secara aman dan nyaman tanpa mengindahkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri yang mengatur tentang besaran biaya program PTSL.
Terlebih diakui Andreas, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bojonegoro, dalam pelaksanaan PTSL memang ada beberapa kebutuhan yang menjadi tanggung jawab pemohon. Diantaranya seperti, patok, dan matre guna syarat pemberkasan.
“Kita hanya bisa membiayai kegiatan penyuluhan, pengukuran, pemeriksaan tanah hingga sertifikat, kegiatan lainya pemerintah tidak bisa membiayai.” ucapnya, Senin, 22 April 2024.
Sesuai ketentuan SKB 3 menteri, lanjut Andreas, kebutuhan patok ditentukan 3 biji dan matre pun minimal membutuhkan 5 biji karena menyesuaikan kebutuhan asal usul bidang tanah yang didaftarkan.
“tentunya patok menyesuaikan, kebutuhan patok gak pasti, kemungkinan bisa tiga patok, bisa jadi sampai 10 patok, minimal satu bidang atau pemohon butuh 5 biji, matre pun minimal membutuhkan 5 biji, matre menyesuaikan kebutuhan asal usul bidang tanah yang di ajukan.” jelasnya,
Tak hanya itu, menurut orang nomer satu di Kantor BPN Bojonegoro, sebelum PTSL berlangsung terlebih dahulu pihaknya melakukan sosialisasi ke Desa penerima program.
“materi sosialisasi yang di sampaikan kepada masyarakat, bahwa penjelasan terkait biaya, meliputi kegiatan apa saja yang dibiayai oleh negara, kegiatan apa yang perlu ditanggung pemohon, seperti halnya kegiatan Kelompok Masyarakat (Pokmas), mereka juga membutuhkan biaya operasional.” bebernya,
Lantaran banyaknya minat masyarakat Bojonegoro dalam mengikuti Program PTSL, BPN menyaratkan agar pihak Pokmas atau Panitia Pelaksana tingkat Desa untuk menyediakan peta kerja.
“satu harus menyediakan peta kerja, semua bidang tanah yang berstatus apa pun harus tertuang dalam peta kerja, wajib pemdes untuk membuat daftar tersebut. Syarat kedua, daftar nominatif yang berisi data nama-nama yang akan mengajukan, bidang mana yang sudah bersertifikat, bidang mana yang status sengketa, siapa yang tidak ikut mengajukan ikut ptsl, mana tanah aset desa. kesemuanya akan dilakukan pengukuran oleh BPN, dengan output akan dapat menerbitkan peta desa secara lengkap.” paparnya,
Masih kata Andreas, setelah semua persyaratan itu sudah dilengkapi pihak panitia pelaksanan tingkat Desa wajib mengawal dan mencatat pemohon ketika melakukan pemasangan patok atau tapal batas tanah.
“Dalam menetapkan dan melakukan pemasangan patok, sesuai luasan batas wilayah bidang tanah, ke semuanya dilaksanakan oleh tim desa, karena secara asal usul riwayat tanah, mereka yang lebih memahami, yang hasil outputnya dalam bentuk PBT (Peta bidang tanah).” terangnya,
Sementara itu, dipaparkan Andreas, dalam pelaksanan program PTSL tidak membutuhkan pembuatan akte riwayat tanah dan Negara juga memberikan keringanan pada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
“dalam pelaksanaan program ptsl, BPN tidak melibatkan jasa Notaris dan atau PPAT, langsung di kerjakan oleh Pokmas di masing-masing Desa, karena PTSL tidak memerlukan Akta asal usul tanah, negara juga memberikan keringanan pada BPHTB yang statusnya tidak harus dibayar atau terhutang” Pungkasya.
Artinya, dengan mencermati keterangan Kepala BPN Bojonegoro tersebut dapat disimpulkan, biaya yang dibebankan kepada masyarakat.
/Ali